Nganjuk, anjukzone.id – Sebuah artikel yang terbit di Surat Kabar Bataviaasch Nieuwsblad pada 16 Juli 1917 menjelaskan bahwa pemerintah, Kolonial Hindia Belanda mengeluarkan dana sebesar 50.000 Gulden untuk membangun Jembatan Kereta Api di atas Sungai Brantas wilayah Kertosono. Tak hanya berfungsi sebagai jembatan kereta api, jembatan itu juga kerap dipakai warga lokal sebagai jembatan penyeberangan orang, terutama bagi para pejalan kaki.
Bataviaasch Nieuwsblad merupakan surat kabar di Hindia Belanda yang berkantor pusat di Batavia. Surat kabar ini terbit sejak tahun 1885 hingga 1957.

Belum diketahui secara pasti pada tahun berapa Jembatan Kereta Api di atas Sungai Brantas wilayah Kertosono mulai dibangun, apakah mulai tahun 1917 atau sudah sejak tahun-tahun sebelumnya. Namun yang pasti, merujuk laporan tersebut dapat disimpulkan bahwa telah ada Jembatan Kereta Api di atas Sungai Brantas wilayah Kertosono pada tahun itu.

Foto. Jembatan Kereta Api Kertosono pada era Belanda
Pada laporan itu juga dijelaskan bahwa pembangunan jembatan penyeberangan yang lebih representatif sangat dibutuhkan, apalagi dengan semakin banyaknya mobil pada masa itu. Pembangunan jembatan juga dibutuhkan untuk memperlancar pendistribusian logistik baik dari barat maupun timur Sungai Brantas, dari wilayah Kertosono menuju Jombang maupun Kediri dan sebaliknya.
Sebelum dibangun jembatan, mobilitas orang maupun barang dari Kertosono menuju wilayah timur Sungai Brantas diangkut menggunakan veerpont atau kapal feri. Akan tetapi kapal penyeberangan ini tidaklah sepenuhnya aman, terutama ketika arus air di Sungai Brantas tengah deras-derasnya, hal itu tentu sangat membahayakan dan mengancam keselamatan para penumpang.
Sementara jika tidak menggunakan veerpont di Kertosono, maka mereka yang dari wilayah Nganjuk hendak menuju Pare, Kediri, dan dari arah sebaliknya, harus memutar jalan yang cukup jauh. Kondisi itu tentu menyulitkan, apalagi bagi mereka yang hendak berobat ke rumah sakit.
Awal Dibangun Jembatan Lama Kertosono
Memang ketika itu masyarakat Kertosono dan sekitarnya sudah sering memanfaatkan Jembatan Kereta Api di atas Sungai Brantas wilayah Kertosono sebagai tempat penyeberangan, terutama bagi para pejalan kaki. Tapi kelalaian sedikit saja, pejalan kaki tersebut dapat mengalami kecelakaan fatal yang dapat membahayakan keselamatan mereka. Kondisi itu lah yang menjadi pertimbangan untuk segera dibangun jembatan yang lebih representatif, jembatan penyeberangan besar yang dapat dilalui mobil maupun pejalan kaki, sehingga dapat memperlancar mobilitas masyarakat di timur dan barat Sungai Brantas.
De Locomotief dalam laporannya yang diterbitkan pada 17 Mei 1920 melaporkan bahwa pemerintah kolonial telah menyetujui pembangunan jembatan tetap, dengan biaya yang diperkirakan mencapai f409000. Lokasi jembatan tetap ini berada di selatan jembatan kereta api. Penulis meyakini bahwa jembatan yang dibangun ini ialah Jembatan Lama Kertosono yang saat ini kita kenal. Pembangunan jembatan ini diharapkan dapat memudahkan mobilitas warga yang berasal dari arah Nganjuk maupun Madiun menuju Jombang dan Surabaya, pun sebaliknya.

Foto. Jembatan Lama Kertosono tampak dari samping
Pada laporan De Locomotief ditulis “Men het verzamelen van materialen voor die ophooging is bereids begonnen; gehoopt wordt dat de brug in 1921 in gebruik kan worden gesteld”, yang kurang lebih dapat disimpulkan bahwa pembangunan Jembatan Lama Kertosono telah dimulai pada tahun 1920, dibuktikan dengan mulai dikumpulkannya material pembangunan jembatan. Selanjutnya, jembatan tersebut diharapkan dapat difungsikan pada tahun 1921.
Dalam perkembangannya, ternyata pembangunan Jembatan Lama Kertosono molor, tidak sesuai harapan awal. Merujuk laporan Surat Kabar Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië yang terbit pada 7 Maret 1925, dijelaskan bahwa jembatan ini sudah bisa dilalui pada tahun 1924. Merujuk keterangan tersebut, penulis meyakini bahwa pembangunan Jembatan Lama Kertosono baru sepenuhnya kelar dan bisa dilalui masyarakat pada tahun 1924.
Tapi agak-agaknya keberadaan Jembatan Lama Kertosono ini belum bisa sepenuhnya mengembalikan gairah perdagangan di Kertosono, yang mana hingga abad ke-19 Kertosono merupakan pusat niaga air dan menjadi dermaga atau tempat berlabuh bagi ratusan kapal dan perahu sejenis pirogue pengangkut beraneka ragam bahan komoditas.
“Ware de Brantas bevaarbaar gebleven, dan zou Kertosono een andere toekomst hebben gehad (Seandainya Brantas tetap bisa dilayari, masa depan Kertosono akan berbeda).” tulis laporan Surat Kabar Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië dan De Locomotief, yang sama-sama terbit pada 3 Maret 1938.
Reporter : Sukadi
Editor: Deasy