Nganjuk, anjukzone.id – Kondisi hutan lereng Gunung Wilis zona utara sangat memprihatinkan. Sedikitnya ada tiga wilayah hutan yang kondisinya mencapai tingkat sangat kritis. Tiga lokasi yang masuk KPH Kediri tersebut adalah wilayah Kecamatan Ngetos, Loceret, dan Sawahan Kabupaten Nganjuk.
Berdasarkan data Pelestari Kawasan Wilis (Perkawis), luas wilayah hutan di tiga kecamatan tersebut mencapai 27.134 hektare, terdiri dari hutan produksi dan lindung. 6.192 hektare mencapai tingkat sangat kritis, 1.718 hektare kritis, dan selebihnya potensi kritis.

“Data itu dari Kementerian LHK untuk tahun 2020, kemungkinan untuk tahun sekarang (2025,Red) sudah bertambah, masalahnya, pengelolaan hutan butuh waktu yang lama,” jelas Ketua Perkawis, Tofan Ardi, Selasa, 11 Maret 2025.
Dampak Hutan Kritis
Menurut Tofan, ketiga zona hutan di lereng Gunung Wilis sisi utara tersebut merupakan hutan penyangga utama bagi ekologi di seluruh wilayah Kabupaten Nganjuk. Dampak dari kondisi hutan sangat kritis, rentan terjadi banjir besar, tanah longsor saat musim penghujan, dan kekeringan pada musim kemarau.
“Faktanya, bila terjadi banjir, airnya pasti berwarna keruh kecoklatan, itu tandanya hutan sudah sangat kritis, karena tidak mampu mengikat tanah, sehingga tanah ikut hanyut bersama air hujan,” tegas Tofan.
Mengapa disebut lahan kritis, lanjut Tofan, lantaran tingkat ketebalan tanah sudah mulai turun, sehingga laju erosi di kawasan hulu sudah mengkhawatirkan. Masalahnya, tuff-tuff lahannya sangat berkurang, sehingga semakin lama semakin kritis, dan ketebalan soil tanahnya tidak lebih dari 2 meter.
“Sehingga 2 – 5 tahun lagi, bila (lahan kritis,Red) tetap dibiarkan, menjadi tidak bisa ditanami,” katanya.
Tofan memperkirakan, apabila tiga wilayah penyangga hutan tersebut “jebol”, niscaya Nganjuk bakal tenggelam diterjang banjir yang lebih besar.
Sebab Hutan Kritis
Ada beberapa faktor yang memicu terjadinya hutan kritis di kawasan lereng Gunung Wilis tersebut. Diantaranya, disebabkan kegiatan penambangan tanah urug, deforestasi, alih fungsi hutan, dan faktor alam.
Menurut Tofan, Kegiatan penambangan di wilayah Perhutani pasti terjadi deforestasi. Karena kondisi hutan yang semula ada, kemudian dijadikan lahan tambang, maka terjadi perubahan fungsi hutan menjadi areal tambang.
Selain sebab deforestasi, pemicu terjadinya kerusakan hutan adalah kegiatan alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan serta faktor alam.
“Salah satu terjadinya hutan kritis itu tidak hanya faktor deforestasi, tapi juga terjadi karena alam, misalnya kebakaran hutan,” tambahnya.
Tofan berharap, Pemkab Nganjuk seharusnya punya satu upaya mitigasi untuk melakukan pencegahan, sehingga ke depan hutan-hutan itu tidak semakin turun kualitasnya.
Reporter: Sukadi
Editor: Dea