Kajian Klenik
Sebelum sumber primer tentang boyong pusat pemerintahan Kabupaten Berbek ke Kota Nganjuk ditemukan, Harimintadji, dan kawan-kawan dalam bukunya, “Nganjuk dan Sejarahnya,” dalam menentukan waktu dan jalannya pemindahan pusat pemerintahan Berbek ke Kota Nganjuk, salah satunya menggunakan sumber foto dokumentasi peringatan 50 tahun berdirinya Kota Nganjuk yang dilaksanakan di Onder District Prambon, berangka tahun 1880 sampai 1930.

Sesuai pendapat ahli waris keturunan R.M.A.A. Sosrokoesoemo (III), Raden Ayu Moestadjab menyebutkan bahwa foto yang dibuat pada tahun 1930 tersebut adalah dalam rangka peringatan ulang tahun Ratu Wilhelmina dari Kerjaan Belanda.
Selanjutnya, pada tanggal 2 Maret 1987, Raden Ayu Moestadjab mengirim surat kepada Adi Soesanto, Kasubag Humas Pemda Tingkat II Nganjuk. Isi surat menyebutkan bahwa Hari Ulang Tahun Kabupaten Nganjuk pada tahun 1930, jatuh pada Kamis Legi, 21 Agustus. Ini setelah oleh Tim Penelusuran Hari Jadi Kabupaten Nganjuk dikonversi ke dalam kalender Pakuwon 200 Tahun, karangan Djoko Mulyono.
Berdasarkan hasil konversi kalender Pakuwon, lantas diasumsikan bahwa prosesi pelaksanaan Boyong dari Berbek ke Nganjuk juga terjadi pada waktu yang sama, yaitu 21 Agustus 1880.
Sedangkan berdasarkan rumus perhitungan Den Mas Ngabei Mardiono Gudel, dalam bukunya, “Rembulan Saloko,” diketahui bahwa 21 Agustus 1880 bertepatan dengan hari pasaran Sabtu Kliwon.
Lantas, oleh tim dikonversi dalam Kitab Primbon Betaljemur Adammakna, karya KPH. Tjokroningrat, Sabtu Kliwon memiliki perwatakan satrio pinayungan.
Mulailah dari perwatakan satrio pinayungan ini di-uthak-athik, sehingga gathuk, ketika dikaitkan dengan peristiwa boyongan. Satrio Pinayungan diartikan, bagi yang boyongan akan sangat dihormati dan selamat. Rakyatnya akan taat dan berbakti (sinuyudan). Jika dibanding dengan perwatakan naga dina yang lain, Satrio Pinayungan-lah yang dianggab paling baik untuk dipilih sebagai hari boyongan.
Misalnya, perwatakan pitutur, artinya banyak masalah, demang kadhuruwan, artinya sakit-sakitan, mantri sinarojo, artinya disenangi orang, macan ketawang, artinya sering bersengketa, dan nujupati, artinya sengsara penuh duka.
Akhirnya berdasarkan petunjuk Kitab Primbon Betaljemur Adammakna disepakati, jika Sabtu Kliwon pantangan untuk boyongan menuju arah Barat, dan diharuskan untuk mengambil arah utara atau timur.
Diperkuat Primbon Jawi Jangkep, karangan Ki Sura, bahwa arah Barat berarti angsare pati, Utara angsare lara, Timur angsare urip, dan Selatan angsare slamet (selamat).
Maka, boyongan dari Berbek ke Nganjuk putuskan alur perjalanannya, keluar dari rumah dinas Bupati Berbek berjalan menuju Selatan, belok menuju Timur, belok ke Utara, belok lagi ke Timur, kemudian belok ke Utara, demikian seterusnya hingga sampai masuk pendapa dan rumah dinas bupati yang baru dari arah Barat menujuTimur.
Bila diterjemahkan berdasarkan angsare arah mata angin, disimpulkan bahwa perjalanan boyong bermakna, slamet – urip – lara – urip – lara – urip – lara – urip – lara – urip – lara – berakhir pada urip.
Mencari Srana (sarana) ke Lemah Putih
Belum cukup anggapan bahwa prosesi boyong pada era Bupati Berbek Sosrokoesoemo (III) tersebut mendasarkan kepada kajian klenik primbon dan kalender pakuwon, tim masih mencari sarana lain. Tidak disebutkan sarana berbentuk apa, yang jelas tim menceritakan, ini dilakukan berdasarkan bisikan ghaib dari seorang ahli spiritual, bahwa lokasi untuk mendapatkan sarana berada di Lemahputih, Desa Jatigreges, Kecamatan Pace. Cara mendapatkan sarana harus dengan jalan kaki di tengah malam sebelum prosesi boyongan dilakukan.
Setelah mendapat sarana yang dibutuhkan, disemayamkan semalam di Rumah Dinas Bupati Berbek untuk selanjutnya dibawa ke Nganjuk pada saat prosesi boyongan.
Rute Boyong
Pertimbangan yang digunakan adalah Sabtu Kliwon setelah ditetapkan sebagai hari boyongan, tidak boleh mengambil jalur arah Barat, dan harus melalui jalur Timur dan Utara.
Bila mengambil jalur Barat, rute yang bakal ditempuh melewati Berbek – Kacangan – Sumber Windu – Patranrejo – Tiripan – Sonopatik – Sekarputih – Gandu Cangkringan – Jalan Lurah Surodarmo – Jalan A. Yani – Jalan Merdeka – Jalan Basuki Rahmad – terakhir Pendapa Nganjuk.
Oleh sebab jalur Barat dalam Primbon Jawi Jangkep dimaknai “pati”, maka mustahil untuk dipilih sebagai jalur boyongan.
Jalur Timur menurut Primbon Jawi Jangkep masih memungkinkan untuk menjadi jalur boyongan. Yaitu melewati Berbek – Loceret – Candirejo – Jalan Anjuk Ladang – Jalan Ahmad Yani – Jalan Merdeka – Jalan Basuki Rahmad – terakhir Pendapa Nganjuk. Karena terbebas dari jalur Barat dan menurut perwatakannya, jalur Timur memiliki makna “slamet” dan “urip”.
Tetapi alasan ini belum cukup mewakili menjadi jalur boyongan. Lantaran, anggapan tim, bahwa jalur Berbek hingga Loceret pada saat itu belum ada, sehingga tidak mungkin, boyongan dilakukan putar balik.
Anggapan berikutnya bila boyongan melewati jalur Timur adalah terkendala sungai. Ada beberapa sungai yang harus dilewati dan ini menjadi mitos orang Jawa yang harus dihindari.
Anggapan ketiga adalah jalur tengah, yaitu, dimulai dari Rumah Dinas Bupati Berbek berjalan ke Selatan menuju jalan Utara alun-alun, kemudian belok ke kiri (Timur) sampai pertigaan pertama belok kiri (Utara). Jalan ini masih sempit dan belum beraspal. Setelah sampai ujung jalan, belok kiri melewati jembatan kecil.
Dari jalur ini berlanjut menuju Utara melewati Dusun Betek, Dusun Panasan, Dusun Barong, perempatan Desa Mungkung, Dusun Kapungan, Dusun Nanggungan, sampai perempatan Desa Jatirejo, belok ke Timur masuk Jalan Letjen Soeprapto, belok kiri masuk Jalan Mayjen Soetoyo, Jalan Sersan Harun, Jalan Mayjen DI. Panjaitan, ke Utara masuk jalan KH. Ahmad Dahlan, sampai di depan Masjid Agung Baitus Salam, belok kiri menuju Jalan Merdeka, masuk Jalan Basuki Rahmad, terakhir masuk Pendapa Kabupaten Nganjuk.
Jalur ketiga ini juga membuat tim ragu-ragu, karena jalan antara Berbek hingga Mungkung kondisinya sempit dan makadam. Bahkan proses pengaspalan baru dilakukan pada tahun 1990-an.
Namun demikian, tim memutuskan bahwa prosesi boyongan pada tahun 1880 dulu, Bupati Sosrokoesoemo (III) melalui jalur tengah ini, karena tidak melewati sungai lebih dari satu kali.
Berdasarkan keterangan di atas, dasar pertimbangan yang digunakan oleh Tim Penelusuran Hari Jadi Kabupaten Nganjuk pada tahun 1993 adalah foto dokumentasi peringatan 50 tahun berdirinya Kota Nganjuk yang dilaksanakan di Onder District Prambon, berangka tahun 1880 sampai 1930. Selanjutnya ditarik kesimpulan menggunakan sumber Kalender Pakuwon dan Primbon Jawi, ditemukan hari Sabtu Kliwon, 21 Agustus 1880. Sumber ini kemudian dianggap sebagai Hari Boyong Kabupaten Berbek ke Kota Nganjuk dengan rute jalur tengah.
Kajian Ilmiah dari Resident Meyer
Berbeda dari hasil kajian Komunitas Pecinta Sejarah dan Ekologi Nganjuk (Kotasejuk) tentang hari Boyong Natapraja Kabupaten Berbek ke Kota Nganjuk. Bila tim penelusuran Hari Jadi Nganjuk mendasarkan kepada data primer foto dokumentasi peringatan 50 tahun berdirinya Kota Nganjuk yang dilaksanakan di Onder District Prambon, berangka tahun 1880 sampai 193 dan primbon Betaljemur, Komunitas Pecinta Sejarah Nganjuk (Kotasejuk) menunjukkan surat laporan Residen Kediri Meyer kepada Gubernur Jendral bertanggal 8 Juni 1880.

Copy Surat laporan Residen Kediri Meyer kepada Gubernur Jendral bertanggal 8 Juni 1880 (doc)
Isi surat, tentang pemindahan pegawai dan ibukota telah dilaksanakan pada tanggal 6 Juni 1880, hari Ahad Wage, bertepatan tanggal 27 Jumadilakhir Wawu 1809 AJ, wuku Kuningan masa karolas windu Adi. Pelaksanaan pemindahan pejabat atau pegawai dilaksanakan sesuai adat Jawa yang berlaku untuk keselamatan semuanya. Saat ini, Kabupaten Berbek dipimpin oleh R.M.A.A. Sosrokoesoemo (III).(1878 – 1901).
Surat laporan tersebut didahului dengan besluit Pemerintah Hindia Belanda No. 20 tahun 1875 tertanggal 8 Juni 1875. Isinya, untuk memindahkan pejabat dan pegawai pemerintahan Kabupaten Berbek ke Nganjuk dengan persiapan selama 5 tahun. Di mana, saat itu pemerintahan Kabupaten Berbek masih dipimpin oleh Raden Tumenggung Sumowiloyo. (1866 – 1878).
Berikut ini terjemahan dari arsip laporan residen tentang pemindahan pegawai.
Salinan
No. 3024 a/4205
Kediri, pada 8 Junij 1880
Saya menyampaikan kepada anda Yang Mulia, bahwa Keputusan Pemerintah tanggal 8 Junij 1875 no. 20 berisi pemindahan kedudukan pegawai dari afdeeling Berbek, dari tempat dinas tersebut ke tempat bernama Ngandjoek pada tanggal 6 bulan ini telah dilaksanakan di tempat yang dimaksud dengan baik sesuai perintah. Dengan untuk menjaga keselamatan para pegawai juga dilaksanakan menurut upacara yang lazim dilakukan oleh orang pribumi tanpa satu hal yang menyimpang menurut adat.
Resident (Kediri)
Meyer
Untuk membuat salinan
Sekretaris Pemerintahan
- Sol
Kepada
Yang Mulia
Gubernur Jendral
Hindia Belanda
Dan selanjutnya, dan selanjutnya
Menurut Sejarawan Nganjuk, Rudy Handoko, peringatan boyong pejabat kabupaten Berbek ke Kota Nganjuk ternyata pernah dilaksanakan pada jaman Kolonial Belanda. Peringatan hari boyong diperingati setiap tanggal 6 Juni, sebagaimana peristiwa aslinya pada tanggal 6 Juni 1880.
Salah satu peringatan Boyong dirayakan dalam bentuk pawai allegoris dari depan pendapa Kabupaten Berbek menuju Kota Nganjuk.
“Dalam dokumen foto, ada yang jalan kaki sambil mengusung replika pendapa Berbek, dan naik kuda, dilanjutkan pameran hewan ternak sapi dan pawai mobil hias,” jelas Rudy.
Kotasejuk juga mengkaji dokumen foto peringatan ulang tahun ke 50 tahun boyongan dilaksanakan pada tahun 1930 di Onder District Prambon, berangka tahun 1880 sampai 1930. Disimpulkan, pawai allegoris dilaksanakan sesui peristiwa aslinya, melewati jalan utama menuju pendapa kota Nganjuk.

Peta Berbek Tahun 1870-an. Tampak jalan raya Berbek menuju Loceret (sumber_KITLV)
Pasalnya, jalan Berbek – Loceret hingga Nganjuk merupakan jalan utama, sudah ada sejak jalan kuna. Seperti terlihat pada peta Berbek tahun 1870-an.
Eko Jarwanto, penulis Ngandjoek dalam Lintasan Sejarah Nusantara juga menyebut bahwa jabatan bupati pada masa itu identik raja. Sehingga, tidak lazim seorang raja melewati jalur setapak, seperti melewati Desa Kacangan hingga Desa Mungkung, apalagi dengan jalan kaki.
“Menyangkut kehormatan seorang bupati atau raja, tidak lumrah seorang raja kok blusuk-blusuk, apalagi lewat jalan setapak. Karena jalur utama Berbek menuju Loceret, sampai ke Nganjuk itu sudah ada sejak jaman kuna, di peta kelihatan jelas itu,” jelas Eko.
Lantas, berdasarkan hasil kajian sejarah boyong pejabat Kabupaten Berbek ke Nganjuk tersebut, Kotasejuk melalui Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Nganjuk melakukan sosialisasi, seminar dan penyusunan buku untuk selanjutnya diusulkan kepada pemerintah Kabupaten Nganjuk agar 6 Juni 1880 ditetapkan sebagai hari boyong pejabat pemerintah Kabupaten Berbek ke Nganjuk, dan diperingati setiap tanggal 6 Juni.

Marhaen Djumadi, Bupati Nganjuk dalam pawai Boyong 2023 (foto_sukadi)
Dalam Keputusan Bupati Nganjuk Nomor : 188/200/K/411.013/2022 tanggal 17 Juni 2022, tentang Penetapan Hari Boyongan Pusat Pemerintahan dari Kabupaten Berbek ke Nganjuk, memutuskan;
- Menetapkan Hari Boyongan Pusat Pemerintahan dari Kabupaten Berbek ke Nganjuk pada 6 Juni 1880 Masehi bertepatan hari Minggu Wage;
- Setiap tahun diadakan peringatan perpindahan dari bekas Kabupaten Berbek ke pendopo Kabupaten Nganjuk yang diikuti oleh seluruh pejabat Forum Koordinasi Pimpinan di Daerah (Forkompimda), Kepala Perangkat Daerah, dan seluruh perwakilan masyarakat Nganjuk;
- Keputusan bupati ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Berdasarkan SK Penetapan Hari Boyongan Pusat Pemerintahan dari Kabupaten Berbek ke Nganjuk tersebut, akhirnya peringatan boyong kembali dilaksanakan, yaitu pada Selasa, 6 Juni 2023 untuk pertama kali pasca merdeka.
Peringatan Boyong dirayakan dalam bentuk pawai allegoris dari depan pendapa Kabupaten Berbek menuju Kota Nganjuk melewati jalan utama, Berbek – Loceret – Nganjuk.
Penulis : Sukadi