Menu

Mode Gelap
Jembatan Lama Kertosono Bukan Cagar Budaya Ini Penjelasan TACB Nganjuk Jembatan Lama Kertosono Saksi Sejarah Perjuangan TNI Nganjuk Melawan Belanda pada Agresi Belanda II Dilarang Melintas Sejak Tahun 2019, Jembatan Lama Kertosono Saksi Sejarah Pejuang Nganjuk Melawan Belanda SMPN 3 Tanjunganom Terapkan Metode MPLS Humanis, Fokus pada Karakter, Minat dan Bakat Gerakan Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Masuk Sekolah Kabupaten Nganjuk Terapkan Cara Ini Kedaulatan dan Ketahanan Nasional di Era Perang Dagang AS-China : Membangun Identitas Bangsa yang Mandiri

Budaya

Jembatan Lama Kertosono Saksi Sejarah Perjuangan TNI Nganjuk Melawan Belanda pada Agresi Belanda II

badge-check


					Tim Roode Brug bersama Siswoyo, veteran TNI saat mengunjungi Jembatan Lama Kertosono (foto_doc_roode brug) Perbesar

Tim Roode Brug bersama Siswoyo, veteran TNI saat mengunjungi Jembatan Lama Kertosono (foto_doc_roode brug)

Penulis : Sukadi, Sekretaris TACB Kabupaten Nganjuk

 

CERITA ini saya sunting dari hasil pengumpulan data tentang Pandergoen pejuang Polisi Intelijen keturunan Belanda di Nganjuk pada Juni, 2019 yang tergabung dalam tim penelusuran jejak Pandergoen, pejuang Polisi Intelijen keturunan Belanda di Nganjuk oleh Polres Nganjuk; Kapolres Nganjuk – AKBP Dewa Nyoman Nanta Wirata, Humas Polres Nganjuk; Soedarman, Trubus, Ariefin, Dhani, Muji – Wartawan Koran Memo, Aries Trio Effendi -Relawan Penelusuran Sejarah Nganjuk, dan Sukadi – Guru SMPN 1 Bagor.

Salah satu data merujuk kepada jembatan lama Kertosono sebagai salah satu saksi perjuangan TNI di Nganjuk melawan tantara Belanda. Data diperoleh dari satu-satunya veteran yang terlibat dalam pertempuran di jembatan lama Kertosono, bernama Siswoyo, warga Dusun Plimbing, Desa Gebangkerep, Kecamatan Baron.

Narasumber Veteran Siswoyo ini sama seperti yang dirujuk oleh  tim Roode Brug Soerabaia pada tahun 2012, yang juga menggali informasi terkait perlawanan pejuang di Nganjuk pada agresi Belanda II di wilayah Kertosono dan sekitarnya.

Pak Siswoyo saat menunjukkan dokumen warga sipil yang meninggal dibubuh Belanda (foto_SUkadi)

Dari hasil wawancara dengan Pak Siswoyo, diperoleh keterangan sebagai berikut;

SAAT itu, memasuki gelombang kedua, agresi Belanda menjelajah daerah Nganjuk pada awal tahun 1949. Para pejuang di Nganjuk kembali dibuat was-was terhadap kedatangan Belanda dengan dibonceng para sekutunya. Tak terkecuali, Siswoyo bersama anak buahnya saat berjuang mempertahankan kemerdekaan di wilayah Kertosono dan Baron saat itu. Padahal, para pejuang di bawah komandonya tidak memiliki senjata yang setanding dengan senjata panser atau meriam milik Belanda. Apalagi kendaraan truk, sebagai mobilitas dalam perjuangan, tentulah tidak dimiliki, kecuali mendapatkan  rampasan dari lawan.

Mulai Letnan I Siswoyo, sebagai komandan kompi II, Batalyon Krakatau saat itu, dan kawan seperjuangannya menyusun strategi yang seimbang guna menghadapi Belanda yang bersenjata lengkap. Sedangkan di pihak pejuang hanya bersenjata bambu runcing, parang, dan semangat. Sementara, seorang mata-mata polisi telah menginformasikan bahwa akan ada arak-arakan tentara Belanda melintas wilayah Kertosono hendak memasuki Nganjuk.

Tim Roode Brug melihat bekas pem-boman pada Jembatan lama Kertosono (foto_doc Roode Brug)

“Kami sudah kebingungan mendapat informasi dari mata-mata kalau Belanda akan masuk Nganjuk, sedangkan kami tidak punya senjata apa-apa,” terang Siswoyo, (91) salah seorang veteran beralamat di Dusun Plimping, Desa Gebangkerep, Kecamatan Baron, Sabtu, 22, Juni 2019.

Lantas Siswoyo berinisiatif mencari sarang lebah berbisa dari hutan, dimasukkan dalam karung. Karung berisi lebah digantung di tepi jalan yang hendak dilewati serdadu Belanda, di Dusun Plimping. Sedangkan para pejuang bersembunyi di sekitarnya. Tepat, serdadu Belanda mulai merambah wilayah Kertosono menuju Baron, melewati jalan raya dekat Dusun Plimping, seketika, ranjau lebah berbisa itu ditembaki dari kejauhan. Tenta saja, ribuan ekor tawon berhamburan keluar, menyerang kawanan serdadu Belanda. Mendapat serangan mendadak lebah berbisa, para serdadu Belanda kehilangan konsentrasi, membabi-buta menembaki warga sipil. Kondisi ini dimanfaatkan oleh pejuang untuk menyerang dan merampas senjata dan kendaraan truk yang ditumpangi. Korban berjatuhan di pihak Belanda karena terkena sengatan lebah berbisa dan serangan para pejuang.

“Belanda banyak yang jatuh terkena sengatan tawon ndhas (lebah berbisa,red), tinggal kita serang dan rampas senjatanya,” terangnya ditemui di rumahnya.

Menurut Siswoyo, kendati banyak korban di pihak Belanda, namun banyak warga sipil yang terluka, terkena serangan membabi-buta dari Belanda.

Tim Roode Brug melihat lokasi makam masal akibat pembunuhan oleh Belanda (foto_doc_roode brug)

Setelah berhasil merampas senjata dan kendaraan, para pejuang kembali melancarkan serangan tengah malam di markas Belanda, dekat Sungai Brantas. Kembali, korban berjatuhan terjadi di pihak Belanda. Markas Belanda ini, lokasinya sekarang sudah tidak berbentuk. Telah beralih fungsi menjadi bangunan sekolah, SMKN 1 Kertosono.

Siswoyo mengaku, mendapatkan informasi tentang mobilitas Belanda dari seorang mata-mata bertubuh kekar, menyerupai orang Belanda, bernama ‘Gun’.

Siswoyo juga mengingat Gun, sahabatnya seorang polisi memiliki nama Soeratman itu selalu muncul di desanya bersama seorang temannya. Pria yang diingat bertubuh sedang, berwajah ganteng itu tidak pernah lepas dengan cemethi (pecut-Jawa) di tangannya.

Siswoyo juga menyebut-nyebut nama Bandi dan Lasidin yang sering muncul didesanya sebelum insiden pembantaian warga sipil terjadi.

Siapakah sebenarnya sosok yang dimaksud dengan nama Gun, Soeratman, Bandi dan Lasidin tersebut ?

Soeratman bersama temannya sering muncul, keliling Dusun Plimping, memberikan informasi tentang keberadaan Belanda yang hendak masuk wilayah Nganjuk dari Surabaya, melewati jalan raya Kertosono – Baron.

Selain kesaksiannya tentang jebakan tawon ndhas, Siswoyo juga menyinggung serangan warga sipil oleh Belanda yang marah, hingga menyebabkan 50 orang meninggal.

Sama seperti kesaksian beberapa warga Dusun Plimping, terkait insiden ranjau tawon ndhas di desanya, seperti ditulis oleh tim Roode Brug Soerabaia ( 2012); http://www.roodebrugsoerabaia.com/2012/12/insiden-pembantaian-belanda-dan/?v=b718adec73e0, sebagai berikut;

  1. Poniran, lahir 30 Juni 1940. Saat kejadian baru berumur 4 tahun. Berdasarkan informasi yang didadat dari tetangga, saudara, dan sanak kerabatnya, dia diajak bersembunyi dalam lubang perlindungan.

Seingat dia, korban yang meninggal ada 4 orang, yakni Ronijan (tidak memiliki sanak kerabat), mati dengan matanya dicungkil. Simo Bungkar (orang tua Tuminem), mati dengan leher digorok. Sirep (orang tua Lasiman), mati ditembak. Jayus (tidak memiliki sanak kerabat),  mati ditembak.

Poniran juga menyebut, ada 3 rumah yang dibakar pada saat itu, yakni rumah milik Poniran sendiri, Sarman, dan Kasiran.

Menurutnya, Belanda marah dan menyerang desa karena kasus jebakan sarang tawon, yang mengakibatkan tentara Belanda banyak yang tewas.

Poniran menyebut nama Bandi yang mengacaukan pasukan Belanda. Dia menebang banyak pohon asam sebelum peristiwa jebakan ranjau tawon terjadi, dan menaruhnya di tengah jalan, untuk menghalangi panser-panser Belanda.

  1. Lasiman, lahir tahun 1924, saat diwawancarai berumur sekitar 88 tahun. Saat insiden, dia berumur 26 tahun. Peristiwanya terjadi pada Ahad (Minggu) Kliwon, 02 Januari 1949. Dia melihat Belanda mulai masuk Dusun Plimping pada jam 09.00WIB, ketika baru saja pulang dari memetik kelapa di Desa Pandanarum. Belanda langsung mengobrak-abrik penduduk dan rumah-rumah warga Dusun Plimping hingga jam 15.00 WIB.

Korban yang ia kenal ada 8 orang, masing-masing; Kertodikromo, biasa dipanggil mbah Sirep, ayah dari Lasiman, mati dengan cara ditembak di kepala dari belakang. Ronijan, Simobungkar, perutnya dibelah, Masimin, Kertosayang – ayah Ilham, Murjani – mertua Lasiman.

Murjani dibawa Belanda tapi hingga kini tak kembali, Sutirah dan Malem, adik kakak, penduduk Desa Baron. Total korban yang meninggal diperkirakan sekitar 50 orang.

Dia juga sempat melihat tentara Belanda yang menyerang banyak berkulit hitam, diduga KNIL dari Ambon. Dia juga sempat menyinggung tentang panser Belanda yang meledak oleh ranjau.

Ia juga bercerita tentang 3 rumah yang dibakar, yakni rumah Sarman, Poniran, dan satu lagi rumah yang ia lupa siapa pemiliknya.

Kemudian dia juga menyinggung tentang  kejadian jebakan sarang tawon. Jebakan tersebut ditaruh di jalan besar atau utama, dan pelakunya adalah orang dari Desa Baron.

Dia juga bercerita tentang sosok Bandi, sosok tentara yang memiliki beberapa anak buah. Ia biasa berpakaian hitam-hitam, mulai baju dan celana, memakai ikat kepala merah, dan membawa pecut (cemeti). Sebelum kejadian, Bandi ini selalu muncul di desa setiap hari memberikan informasi kalau desanya akan diserang oleh Belanda. Tapi sejak Belanda masuk, justru Bandi tidak pernah kelihatan.

  1. Ilham, lahir tahun 1919, saat diwawancarai berusia 93 tahun.Pada masa pendudukan Jepang, ia menjadi pelatih Seinendan.

Dia melihat langsung kejadian penembakan 10 orang di gardu perempatan Dusun Plimping desa setempat. Setelah peristiwa penembakan itu, ia ikut mengurus jenazah dan menggali kuburan. Jenazah-jenazah tersebut dikumpulkan dan dimakamkan dalam satu liang kubur berukuran besar di kuburan massal Dusun Sedan.

Dia juga bercerita tentang kisah Kamituwo – perangkat desa yang ditembak Belanda. Untuk kisah ini, ia bukan merupakan saksi langsung. Menurut ceritanya, pada saat peristiwa itu terjadi, Kamituwo sedang mengenakan jarik, jas resmi,  selempang, dan blangkon – berseragam resmi perangkat desa.

Pada saat itu banyak warga yang bersembunyi di sebuah tempat perlindungan, yang berupa lubang di tanah yang atasnya ditutup oleh papan. Hingga bisa dikamuflasekan sebagai sebuah musholla – tempat shalat. Ia disuruh keluar dari tempat perlindungan secara baik-baik, namun langsung ditembak ketika melangkah keluar dari rumahnya, tepat pada dadanya.

Ia juga menyebutkan bahwa ada seorang mata-mata menyerupai orang Belanda bernama Bandi.

Dari kesaksian Ilham juga didapatkan informasi mengenai sosok Abas, warga Baron yang memiliki kesaktian yakni kebal peluru. Abas ini juga merupakan veteran yang bertempur pada perang Surabaya. Saat kejadian itu, Belanda mencoba menembak Abas berkali-kali, tetapi tetap tidak mempan. Karena itu, ia akhirnya diseret ke sebuah sumur, dicemplungkan dengan pemberat di kakinya hingga tenggelam, kemudan sumur itu ditimbun batu-batuan.

Ilham juga bercerita seseorang yang memasang dan meledakkan ranjau, bernama Tarjan. Tarjan ini merupakan seorang TNI  yang berasal dari Dusun Plimping. Ledakan ranjau mengakibatkan rusaknya jalan utama dengan maksud untuk menghambat laju kendaraan tempur Belanda. Lubang yang diakibatkan oleh ledakan ini sebesar rumah, namun dengan alat beratnya, Belanda dengan mudah dapat menutup kembali lubang tersebut.

  1. Setu, lahir 1924, saat diwawancarai berumur 72 tahun.Beliau melihat satu orang ditembak mati di Desa Gebangkerep, bernama Sumodariman yang merupakan warga Baron. Ia juga turut mengurus jenazah 10 orang yang ditembak mati di perempatan gardu Plimping. Beliau masih ingat bahwa kejadian tesebut terjadi pada hari Minggu Kliwon.

Setu juga bercerita tentang dua wanita, kakak beradik, yang tewas dalam lubang perlindungan akibat terkena mortir Belanda, yang belakangan diketahui bernama Malem dan Sutirah, juga bercerita tentang kendaraan tempur Belanda yang terkena ranjau di daerah jembatan Kertosono – kini area waterboom.

Beliau juga menyebutkan sosok Bandi yang misterius, yang sebelum terjadinya insiden hari Minggu itu, bersama pengawalnya berkeliling desa, memberikan informasi bahwa akan ada Belanda menyerang Dusun Plimping, membawa cemeti.

  1. Tuminem, lahir tahun 1930, saat diwawancarai berumur sekitar 82 tahun. Beliau masih mengingat kejadian tersebut pada hari Minggu Kliwon, bulan Maulud. Saat kejadian ia mengungsi ke Dusun Sedan, sebelah utara Dusun Plimping. Ia sudah mengingatkan bapaknya agar tidak pulang kembali ke Plimping, karena telah beredar kabar dari seorang yang setiap hari keliling desa bahwa Dusun Plimping akan diserang Belanda. Namun bapaknya tetap kembali ke Plimping, karena menganggap bahwa Belanda tidak akan melukai orang-orang tua.

Dari kisah kakaknya yang menjadi saksi mata langsung, sekarang sudah meninggal, pada saat akan dieksekusi, bapaknya telah berkali-kali mengatakan bahwa ia hanya petani, bukan TNI. Ia juga telah menunjukkan surat keterangan bahwa ia hanyalah seorang penduduk biasa. Namun akhirnya ia tetap ditembak oleh Belanda, di gubuk yang berada di kebun dekat rumahnya.

Tuminem juga bercerita tentang 5 rumah yang dibakar habis oleh Belanda, yang berlokasi di sekitar rumahnya

  1. Ponimah, lahir 1935, saat diwawancarai berusia 76 tahun. Beliau adalah saudara kandung Tuminem, bapaknya bernama Simo Tirto atau Simo Bungkar. Nama-nama korban yang diingat adalah Situn dan Moertiah. Poniman mengingat, ada 3 rumah yang dibakar, yaitu, milik Kasmijah, Painem, dan Kaiban.
  2. Kasim, lahir 1932, saat diwawancarai berusia 80 tahun. Korban yang masih diingat : Ronijan – mati ditembak, Masimin penduduk Baron  – mati ditembak di jalan besar, Moerjani – hilang dibawa Belanda, dua remaja putri; Malem dan Sutirah tewas terkena mortir  (putri Irorejo), Sirep , Kamituwo Plimping – mati ditembak di Pandanarum, Simobungkar – ditembak di dalam sumur, Kertobeno – ditembak dalam perlindungan,Jayus, penduduk Plimping – ditembak di Pandanarum, (ayah dari Marwan).

Sebelum Belanda menyerang warga Dusun Plimping, sebagian warga sudah mengungsi. Karena mereka sudah mendapat informasi dari mata-mata, yang selalu berkeliling desa bahwa desa itu akan diserang oleh Belanda. Saat itu, Kasim juga ikut mengungsi ke desa sebelah.

Kasim juga menyebut, para korban meninggal, jenasahnya dikubur massal di Dusun Sedan. Ia juga menyebut, ada rumah warga yang dibakar, yaitu rumah Sarman dan Paidi.

Dia juga menyebut nama Bandi sebagai salah satu pemasang ranjau di jalan. Menurut dia, Belanda menyerang desanya karena marah, setelah peristiwa ranjau lebah yang menyebabkan banyak korban di pihak Belanda.

Saat itu, dia masuk ke Dusun Plimping dan melihat banyak penduduk yang menjadi korban penembakan.

  1. Tumirah, saat diwawancarai diperkirakan berumur 75 tahun. Dia mengingat, korban yang dieksekusi Belanda di sekitar rumahnya berjumlah 21 orang, namun beliau tidak mengingat nama-nama korban.

Sebelum Belanda menyerang desanya, ayahnya memerintahkan agar Tumirah yang saat itu masih kecil untuk lari bersama ibunya. Ayahnya membujuknya, bahwa Belanda tidak akan menyakiti penduduk petani seperti dia.

Ayah Tumiran, Muhammad Soleh ditembak mati oleh Belanda di dalam rumahnya di atas dipan saat duduk membaca Al Quran, sebagaimana posisi jenazahnya ketika ditemukan olehTumirah.

  1. Jajuli, lahir sekitar tahun 1940. Saat diwawancarai berusia 72 tahun. Bapaknya bernama Mat Ngari ditembak mati Belanda bersama Jogoboyo Samad di rumah Samad. Rumah Samad juga dibakar. Jenasah Mat Ngari dan Jogoboyo Samad dimakamkan di Dusun Sedan.
  2. Riana alias Masnah, lahir tahun 1948, saat kejadian berusia 3 bulan. Bapaknya, Abdul Latief alias Sahni ditembak Belanda di Dusun Plimping.

Kejadian penembakan pada saat setelah waktu Ashar, sekitar pukul jam 15.00 WIB, saat sang ayah mengantarkan makanan untuk ayahnya yang saat itu berada di Desa Gebangkerep. Abdul Latief ditembak tanpa peringatan di pematang sawah tanpa alasan jelas. Korban dimakamkan di pemakaman umum Dusun Kedung Regeng.

  1. Djumar, lahir tahun 1936. Saat diwawancarai usia 76 tahun. Ayahnya, Kaelan menjadi salah satu korban dalam insiden serangan Belanda. Selain ayah, ia juga kehilangan kakak iparnya yang bernama Kodri. Selanjutnya, tetangganya yang mati ditembak Belanda adalah Saleh, Kadiran, Samad, Paimin, Munawar dan Mat Ngari.

Samad adalah seorang Jogoboyo, dianiaya oleh tentara Belanda pribumi, menyerupai orang Ambon dan Madura, sebelum akhirnya ia ditembak mati

Semua korban pembantaian oleh tentara Belanda di Dusun Plimping dan sekitarnya adalah warga sipil. Tidak ada satupun anggota TNI atau polisi yang mati.

Korban meninggal, semua dimakamkan massal di Dusun Sedan.

Djumar juga menyebut, 2 orang warga Dusun Plimping, Sunadji dan Diman yang ditawan Belanda. Mereka disuruh membawakan perlengkapan amunisi oleh tentara Belanda.

Beliau juga menyebutkan insiden jebakan sarang tawon yang menewaskan tentara Belanda.

Berdasarkan informasi yang didapat dari 12 narasumber tentang insiden pembantaian warga sipil di Dusun Plimping dan sekitarnya, menewaskan 50 orang, sebagai berikut:

  1. Peristiwanya terjadi awal Januari 1949, sebagaimana ingatan dari para narasumber.
  2. Serangan dilancarkan oleh Belanda karena marah setelah salah satu panser Belanda meledak terkena ranjau darat. Dan juga timbulnya banyak korban akibat jebakan tradisional yang dibuat dari sarang lebah oleh penduduk.
  3. Serangan dilakukan sebagai counter gerilya. Karena Belanda tidak berhasil menemukan para gerilyawan TNI dan polisi, sehingga Belanda melakukan tindakan represif kepada penduduk. Harapannya agar penduduk ketakutan dan memutus kerjasama dengan TNI dan polisi.

Nama-nama korban pembantaian oleh Belanda, yang terjadi di Dusun Plimping versi Roode Brug dari hasil wawancara 12 narasumber;

  1. Abdul Latief
  2. Abas
  3. Dimin Wirjoredjo
  4. Jayus
  5. Kadiran
  6. Kaelan
  7. Kertobeno
  8. Kertosayang
  9. Kodri
  10. Muhammad Soleh
  11. Malem
  12. Masimin
  13. Mat Ngari
  14. Moertiah
  15. Munawar
  16. Moerjani
  17. Paimin
  18. Ronijan
  19. Saleh
  20. Samad
  21. Simobungkar
  22. Sirep
  23. Situn
  24. Somodariman
  25. Sutiran

Nama-nama korban pembantaian oleh Belanda versi Pak Siswoyo dalam Yayasan Kesejahteraan Serba Guna Nganjuk;

  1. Ketang
  2. Dimin Wirja Redjo
  3. Paimin Tirtodimojo
  4. Marjani
  5. Karto Wijono
  6. 6. Soma Bongkar
  7. Malem
  8. Sutiran
  9. Kamidjan
  10. Jayus
  11. Sirep
  12. Somodariman
  13. Suropawiro
  14. Narmun
  15. Masimin
  16. Kartobeno
  17. 17. Kaelan
  18. Samat
  19. 19. Matngari
  20. Surip/Diran
  21. Iksan/Abdulatif
  22. Kasiman
  23. 23. Kotongali/Soleh
  24. Katini/Kasimin
  25. Munaji
  26. Somopawiro
  27. Paidi/Ponce
  28. Sarman
  29. Kemi

Data juga mencatat, 3 romosha hilang dan 12 rumah warga dibakar oleh tantara Belanda.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Jembatan Lama Kertosono Bukan Cagar Budaya Ini Penjelasan TACB Nganjuk

2 Agustus 2025 - 03:44 WIB

Dilarang Melintas Sejak Tahun 2019, Jembatan Lama Kertosono Saksi Sejarah Pejuang Nganjuk Melawan Belanda

30 Juli 2025 - 12:27 WIB

SMPN 3 Tanjunganom Terapkan Metode MPLS Humanis, Fokus pada Karakter, Minat dan Bakat

15 Juli 2025 - 01:33 WIB

Gerakan Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Masuk Sekolah Kabupaten Nganjuk Terapkan Cara Ini

14 Juli 2025 - 02:45 WIB

Kedaulatan dan Ketahanan Nasional di Era Perang Dagang AS-China : Membangun Identitas Bangsa yang Mandiri

26 Juni 2025 - 09:20 WIB

Trending di Opini