Menu

Mode Gelap
Marak Ekskavasi ODCB Gelap di Nganjuk, Lingga Yoni Terbesar Nyaris Hilang Kontroversi Boyong Natapraja Berbek Ke Nganjuk DPMPTSP Nganjuk Lakukan Pemantauan Tiang Kabel WiFi, Siap Potong Tiang yang Belum Berizin Pakem Boyong Natapraja Berbek ke Nganjuk Miris… Di Nganjuk Hutan Lindung Berubah Fungsi jadi Lahan Pertanian, Pohon Langka Ikut Dibabat Anggota Komisi IV DPRD Nganjuk Afif Singgih Sosialisasikan Perda RPJPD 2025–2045

Budaya

Jejak Jalur Perdangan Aliran Sungai Brantas Kertosono, Tempat Berlabuh Perahu Pirogue hingga Kapal Besar

badge-check


					Foto. Sungai Brantas yang berada tepat di timur Kertosono, menjadi tempat berlabuh kapal dan perahu sejenis pirogue Perbesar

Foto. Sungai Brantas yang berada tepat di timur Kertosono, menjadi tempat berlabuh kapal dan perahu sejenis pirogue

Nganjuk, anjukzone.id Dalam lintasan sejarah Nusantara, Wilayah Kertosono pantas untuk diperhitungkan. Tak hanya sejarah pemerintahan yang sempat popular di masa Kolonial Belanda, namun juga popularitasnya dalam perkembangan bidang ekonomi. Lantaran letak geografisnya, berdekatan dengan jalur transportasi air, yaitu Sungai Brantas.

Lebih-lebih, pada masa pemerintah Hindia Belanda, Wilayah Kertosono merupakan salah satu jalur perdagangan vital. Sungai Brantas yang berada tepat di timur Kertosono, menjadi tempat berlabuh kapal dan perahu sejenis pirogue. Dalam Wiki, pirogue adalah perahu kecil sejenis kano, yang biasanya digerakkan dengan tenaga manusia dengan cara dikayuh, bentuk pada umunya lancip pada kedua ujungnya dan terbuka.

Jenis perahu yang terbuat dari kayu ini mengangkut beraneka ragam bahan komoditas, yang kemudian didistribusikan ke berbagai daerah di pulau Jawa, terutama di Jawa Timur.

Kapal dan perahu sejenis pirogue yang berlabuh di Kertosono tidak hanya berasal dari daerah sekitar, namun juga dari daerah-daerah lainnya, bahkan ada dari luar pulau Jawa. Kapal yang mengangkut komoditas itu di antaranya berasal dari Surabaya, Gersik, pulau Madura, Solo, bahkan juga dari  pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa. Tak tanggung-tanggung, jumlah kapal yang berlabuh di Kertosono ketika itu diyakini mencapai ratusan.

Foto. Sungai Brantas Kertosono juga menjadi tempat berlabuh kapal besar era pemerintahan Hindia Belanda

Kertosono, yang menjadi sentra perdagangan air di Sungai Brantas, ini eksis hingga abad ke-19. Sebelum tahun 1864, masih banyak kapal-kapal besar yang singgah di wilayah ini.

Akan tetapi, letusan Gunung Kelud yang terjadi pada 3-4 Januari 1864 tidak hanya mengakibatkan ribuan rumah mengalami kerusakan, bencana alam tersebut juga mengakibatkan terjadinya pendangkalan Sungai Brantas. Pendangkalan ini terjadi imbas aliran lumpur, batu, pasir, dan air, serta material lainnya yang berasal dari letusan Gunung Kelud terbawa ke hilir.

Berbagai material itu terbawa oleh air hujan yang membasahi material vulkanik yang terakumulasi di lereng Gunung Kelud. Material tersebut kemudian mengalir ke arah hilir bersama dengan air hujan. Selanjutnya, aktivitas vulkanik yang terjadi di Gunung Kelud pada tahun 1875 semakin memperparah pendangkalan Sungai Brantas.

Selepas insiden letusan Gunung Kelud pada tahun 1864 dan 1875 tersebut, Sungai Brantas, utamanya yang berada di timur Kertosono, masih bisa dilalui oleh perahu pengangkut komoditas, namun perahu atau pirogue yang berlabuh di Kertosono ini bertonase kecil. Artinya, ketika itu kapal-kapal besar sudah tak lagi singgah di Kertosono.

Pendangkalan Sungai Brantas ini kian hari kian menjadi-jadi. Penyebabnya sama, yakni karena adanya letusan di Gunung Kelud, yang kemudian membawa berbagai material ke wilayah hilir, sehingga mempercepat proses pendangkalan. Letusan Gunung Kelud yang terjadi pada tahun 1910 dan 1919 turut mempercepat proses pendangkalan tersebut.

Imbasnya, pascatahun 1919 dilaporkan sudah tidak dijumpai lagi perahu-perahu kecil yang berlayar dan berlabuh di Kertosono. Selain itu, pendangkalan yang terjadi di Sungai Brantas inilah yang di kemudian hari ditengarai menjadi penyebab bencana banjir di sekitar Kali Brantas, dengan insiden banjir yang paling parah dilaporkan terjadi pada tahun 1934.

Laporan yang merekam aktivitas niaga di Kertosono, dan proses pendangkalan Sungai Brantas yang menjadikan kegiatan niaga air ini berhenti, di antaranya ialah Surat Kabar Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië dan De Locomotief, yang sama-sama terbit pada 3 Maret 1938, dengan artikel berjudul Geen Handelsplaats Geworden, yang kurang lebih berarti “Tidak Menjadi Tempat Perdagangan”.

Tampaknya, kedua artikel tersebut sengaja diberi judul demikian untuk menggambarkan perubahan Kertosono, yang awalnya merupakan pusat niaga air, dengan banyak kapal dan perahu sejenis pirogue yang berlabuh di Kertosono, tapi selepas terjadi pendangkalan Sungai Brantas secara masif aktivitas perdagangan niaga itu berhenti, mandek. Imbasnya, Kertosono pun tidak menjadi tempat perdagangan air yang ramai seperti masa dahulu.

Sekadar diketahui, Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië merupakan sebuah surat kabar berbahasa Belanda yang diterbitkan di Semarang, Hindia Belanda, dari 1924 sampai 1942. Sementara De Locomotief adalah koran pertama yang terbit di Semarang, Hindia Belanda, pada 1851 dan terakhir terbit pada 1956.

Reporter: Sukadi

Editor: Deasy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Marak Ekskavasi ODCB Gelap di Nganjuk, Lingga Yoni Terbesar Nyaris Hilang

4 Juni 2025 - 23:23 WIB

Kontroversi Boyong Natapraja Berbek Ke Nganjuk

1 Juni 2025 - 03:53 WIB

Pakem Boyong Natapraja Berbek ke Nganjuk

19 Mei 2025 - 23:19 WIB

Spektakuler! Parade Seni Jaranan Meriahkan Hari Jadi Nganjuk ke-1088

5 Mei 2025 - 00:47 WIB

Ribuan Warga Nganjuk Ikuti Syukuran Massal 1088 Tumpeng

27 April 2025 - 11:25 WIB

Trending di Birokrasi